Selasa, 09 Maret 2010

Porang, Umbi Lokal yang Moncer di Jepang

TIDAK banyak masyarakat —terutama di Jawa— yang mengenal tanaman porang (Amorphophallus onchophyllus). Tetapi kalau iles-iles atau suweg, tentu banyak orang yang sudah mengetahuinya.

Di Indonesia, tanaman porang memang dikenal dengan banyak nama, tergantung daerah asalnya. Misalnya acung atau acoan oray (Sunda), kajrong (Nganjuk).

Nah, orang Jawa biasa menyebutnya sebagai iles-iles atau suweg.
Porang sering dijumpai tumbuh liar di sejumlah hutan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Dengan harga jual Rp 1.000/kg, beberapa orang yang mengetahuinya tergerak untuk mencari umbi porang dari hutan ke hutan.

Mereka menjualnya ke pedagang pengepul, dengan keuntungan sekitar Rp 500/kg. Tetapi asal tahu saja, ketika diekspor ke Jepang, Taiwan, Thailand, Australia, dan sejumlah negara Eropa, harga jual umbi porang bisa mencapai Rp 15.000.

Pangsa pasar terbesar adalah Jepang. Umbi inilah yang diolah menjadi tepung, kemudian dijadikan penganan khas Jepang seperti konyaku dan shirataki.
Konyaku adalah sejenis jelly yang kaya akan serat. Sedangkan shirataki adalah mi tipis transparan, yang dibuat dari konyaku. Meski menjadi penganan khas Jepang, bahan baku berupa umbi porang didatangkan dari Indonesia.

Kini, permintaan terhadap umbi porang terus meningkat. Tak heran jika muncul beberapa eksportir baru. Mereka tidak menetapkan persyaratan terlalu ketat, kecuali harus kering dan bersih dari cendawan (jamur).

Banyak Manfaat

Di dalam negeri, umbi porang digunakan sebagai bahan pembuatan mi yang dipasarkan di sejumlah swalayan, atau untuk memenuhi kebutuhan pabrik kosmetik.

Sedangkan di mancanegara, umbi porang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Pasalnya, umbi ini dimanfaatkan untuk keperluan industri tekstil (membuat kain mengkilap), perekat kertas, cat, kain katun, wool, dan bahan imitasi yang memiliki sifat lebih baik dari amilum serta harganya yang lebih murah.

Bahan ini juga dapat digunakan sebagai pengganti agar-agar dan gelatin sebagai bahan pembuat negative film, isolator, dan seluloid karena sifatnya yang mirip selulosa.

Zat glukomanan yang terkandung dalam umbi porang, jika dicampur dengan gliserin atau natrium hidroksida, bisa diolah untuk bahan kedap air.

Glukomanan juga dapat digunakan untuk menjernihkan air dan memurnikan bagian-bagian keloid yang terapung dalam industri bir, gula, minyak, dan serat.
Setiap pohon dewasa dapat menghasilkan 2 kg umbi porang. Biasanya, setiap hektare tanaman bisa meghasilkan 12 ton umbi segar atau sekitar 1,5 ton umbi kering. Umbi ini hanya tumbuh subur di musim hujan.

Tingginya permintaan pasar ternyata mampu mengubah cara masyarakat dalam memeroleh umbi porang. Kalau dulu mereka hanya mencarinya di hutan, kini mereka cenderung membudidayakannya.

Syarat Tumbuh

Usaha budidaya porang pada akhirnya makin meluas, antara lain di Nganjuk, Madiun, Jember, Ngawi, dan Wonogiri. Bahkan porang mulai dijadikan komoditas andalan bagi masyarakat sekitar hutan yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di Jawa.

Porang merupakan tumbuhan herba, menahun, tinggi tanaman 100-150 cm, dan umbi berada di dalam tanah. Umbinya mengandung zat glukomanan.
Batangnya tegak, lunak, halus, dan berwarna hijau atau hitam dengan belang-belang atau totol-totol putih. Batangnya tunggal, tetapi memecah menjadi tiga batang sekunder, dan akan memecah lagi menjadi tangkai daun.

Pada setiap pertemuan batang akan tumbuh bubil/katak berwarna cokelat kehitaman yang merupakan alat perkembangbiakan tanaman porang.

Tanaman ini memiliki sifat unik, yaitu mempunyai toleransi yang sangat tinggi terhadap naungan atau peneduh. Artinya, porang harus didampingi dengan tanaman pelindung. Ia hanya membutuhkan intensitas cahaya (matahari) maksimum sampai 40 persen.

Naungan ideal untuknya adalah pohon jati, mahoni, atau sonokeling. Meski bisa tumbuh pada daerah berketinggian 0-700 meter dari permukaan laut (m dpl), pertumbuhan paling bagus dicapai pada ketinggian 100-600 m dpl.

Agar hasil budidaya makin baik, diperlukan tanah yang gembur / subur dan tidak becek (tergenang air). Derajat keasaman (pH) tanah yang ideal adalah 6-7, dan bisa pada kondisi jenis tanah apapun.

Perkembangbiakan

Perkembangbiakan dapat dilakukan secara generatif maupun vegetatif. Cara generatif dilakukan dengan penanaman buah / biji. Tiap empat tahun, tanaman porang akan menghasilkan bunga yang kemudian menjadi buah / biji. Satu tongkol buah bisa menghasilkan 250 biji, yang dapat digunakan sebagai bibit dengan cara disemaikan terlebih dulu.

Cara generatif juga bisa dilakukan dengan menggunakan ubi tetas ( bubil/katak). Katak dikumpulkan saat panen, lalu disimpan dan ditanam ketika memasuki musim hujan. Setiap 1 kg biasanya terdiri atas 100 butir katak.

Sedangkan cara vegetatif dilakukan melalui penanaman umbi. Anda dapat memakai umbi berukuran kecil, yang diperoleh dari hasil pengurangan tanaman yang terlalu rapat. Hasil pengurangan inilah yang dikumpulkan dan selanjutnya dimanfaatkan sebagai bibit.

Bisa juga menggunakan umbi berukuran besar. Namun, umbi ini harus dipecah-pecah dulu sesuai dengan selera, kemudian ditanam pada lahan yang telah disiapkan.

Jika ditanam pada lahan datar, sebaiknya lahan diolah terlebih dulu dengan membuat guludan (timbunan tanah) setinggi 25 cm dan lebar 50 meter. Jika lahannya miring, maka lahan cukup dilubangi dan ditanami bibit. Panen baru bisa dilakukan tiga tahun setelah penanaman secara generatif, tetapi kalau menggunakan cara vegetatif bisa dipercepat menjadi satu tahun saja. (Amanah-32)

1 komentar:

  1. gimna carannya supaya bisa masuk pasar export kejepang atu ke china
    mohon bantuan dan pencerahannya
    trimakasih

    BalasHapus