Selasa, 09 Maret 2010

Mendulang Jutaan Rupiah dari Porang

Tanaman porang, sejenis umbi-umbian yang tumbuh subur di hutan-hutan Jawa berhasil mengangkat kesejahteraan petani sekitar hutan. Mereka bisa mendulang jutaan rupiah dari panen tanaman ini per hektar.

Menelusuri jalan setapak di kawasan hutan jati Bendo Asri, terasa begitu nyaman. Udara segar dan suara kicau burung yang bersahutan melengkapi indahnya suasana hutan yang rimbun oleh pohon jati dan sonokeling yang berjejer. Semak belukar begitu lebat. Sesekali belalang berlompatan ketika terlewati. Hujan semalam membuat jalan yang dilalui becek dan licin.

Hampir satu jam berlalu, Kampung Cabean, Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngluyu, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur, yang berbatasan langsung dengan hutan pun nampak. Satirun dan Suparno tinggal di sana. Tidak banyak yang tahu kiprah keduanya. Tetapi keberhasilannya membudidayakan porang telah mengantarkan keduanya sejahtera.

Dimulai tahun 2005 ketika Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Argomulyo berdiri, Satirun dan anggotanya para petani hutan diberi kesempatan untuk masuk dan ikut memanfaatkan hutan. Porang, pohon sejenis talas bercabang tunggal dan berumbi yang tumbuh di bawah tegakan jati dan sonokeling mereka kelola.

Dulu porang tumbuh sembarangan di hutan. Di hutan lindung yang berbatasan langsung dengan hutan Cabean akan mudah ditemukan tanaman jenis umbi-umbian yang memiliki lima lembar daun dari batang tunggalnya ini.

Menurut Satirun, menanam porang cukup dilakukan sekali dan seterusnya setiap tahun akan bisa memanen. Porang adalah pohon yang unik. Saat musim panas ketika pohon jati meranggas dan berguguran daunnya, porang ikut hilang. Namun tidak mati. Ketika musim hujan tiba ia akan tumbuh kembali dengan batang dan daun yang baru.

Pada tahun pertama, porang belum bisa dipenen. Baru di tahun kedua, setelah umbi berukuran 10-20 cm, porang dapat diambil. Tidak mudah memanen porang. Menurut Suparno, pemanenan dilakukan ketika porang sudah melewati masa dorman (tidur). Ketika itu pohon tidak nampak, tapi jejak tanda menjadi pemandu petani dalam memanen porang.

Saat dipanen, porang yang berkadar air 20 persen ini dihargai Rp1.500- Rp1.900 per kg. Dengan harga Rp1.500 per kg itu, petani bisa mendulang penghasilan dari budidaya porang ini sebesar Rp12 juta per hektar. Pasalnya, setiap hektar mampu menghasilkan panenan sebesar 8 ton.

Setelah dirajang dan dijadikan keripik, porang yang memiliki rendemen 23-25 persen dihargai Rp15. 000 per kg di pasar lokal. “Kami biasanya mengirim keripik ini ke PT Ambiko di Sidoarjo,” kata Satirun. Perusahaan tersebut sejauh ini juga memproses tepung porang untuk dijadikan makanan tahu dan mie yang kemudian diekspor ke Jepang.

Diekspor ke Hongkong
Syahdan, tahun 2007, Prof. Hirositotsi, peneliti porang dari Jepang datang menemui Satirun. Di hadapan petani, sang Profesor itu mencicipi keripik porang. Sepeninggal tamunya itu, Satirun mencoba memakan keripik porang itu. Tidak lama berselang mulut Satirun gatal-gatal.

Lain lagi pengalaman Suparno. Ketika istrinya jatuh sakit dan diharuskan menjalani perawatan dan operasi pencernaan, lantaran kebentur biaya Suparno mengaku tidak sanggup. Istrinya pun dibawa pulang ke rumah. Karena harus memakan bubur tepung, Suparno mencoba membuat bubur dari satu sendok tepung porang yang dicampur dengan dua gelas air. Setelah mengkonsumsi jel porang itu secara terus-menerus, di luar dugaan istri Suparno pun sembuh hingga hari ini.

Itu hanya sepenggal pengalaman dua tokoh tani hutan ini dengan porang yang mereka tanam di lahan hutan seluas 254 hektar tahun 2005 dan menjadi 300 hektar tahun 2009. Lebih dari itu, Suparno dan Satirun yang mengaku telah mampu mengakses pasar internasional ini, telah melakukan ekspor keripik porang langsung ke Hongkong.

Porang yang diolah di pabrik sederhana milik LMDH bantuan pemerintah tahun 2007 – total bantuan sebesar Rp325 juta, dengan rincian Rp225 juta dipakai untuk membangun pabrik dan Rp100 juta untuk budidaya – ini, dikemas dalam kontainer ukuran 20 feet. Keripik porang seberat 10 ton itu kemudian siap dikapalkan di Surabaya.

Setelah dokumen terurus dan dikirim melalui email, pembayaran segera dilakukan pembeli di Hongkong. Rekening LMDH pun bertambah. Selepas itu, barulah kontainer yang berisi keripik itu pun dikapalkan.

Tahun 2007, kata Suparno, harga keripik itu di pasar ekspor mencapai US$1,1 dolar per kg. Tahun 2008, tepatnya bulan Mei ketika LMDH berhasil mengirim 10 kontainer seberat 104 ton dari 210 ton keripik porang yang dipanen, harga ada pada kisaran US$1,5 per kg. ”Saat dolar Rp9.500, kami mengantungi sekitar Rp100 juta per container,” kata Suparno yang kini paham benar istilah pengapalan dengan pola FOB ini.

Permintaan keripik porang tidak terbatas jumlahnya. Untuk memenuhi permintaan, Satirun dan Suparno harus berburu porang hingga ke Majalengka, Jawa Barat. “ Semua porang di Jatim sudah terserap pabrik, kini kami mengambil dari petani-petani hutan di Jabar dan Jateng,” ungkap Satirun sambil memperhatikan anggotanya yang kerja di pengolahan yang sedang menimbang dan mencuci porang yang akan disayat dan dioven karena matahari tidak cukup sinarnya untuk mengeringkan keripik porang.

Sebagai masyarakat dan petani yang dibina oleh Perum Perhutani, mereka tidak melupakan akses yang mereka dapat dari hutan yang dikelola BUMN tersebut. dan mereka juga kini tergantung dari keutuhan rindangnya hutan milik negara yang harus dijaga bersama-sama. “Kami bisa meningkatkan kesejahteraan ini karena kami sanggup kerja sama yang baik dengan Perhutani,” celetuk Satirun sambil memainkan telepon genggam seri terbarunya.

Ririh Prabowo, dari Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Nganjuk mengatakan, kini petani telah menikmati hasil dari budidaya porang di hutan produksi yang dikelola Perhutani. Permasalahan yang ada saat ini, untuk produk porang, ijon sudah muncul di kalangan petani penggarap. Ini akan mengganggu program pemberdayaan petani yang ada

sumber

http://www.tropisnews.com/detail.php?view=berita&id=16

3 komentar:

  1. sekarang laen cerita.LMDH argomulyo bkan lagi milik masyarakat,tp mlik suparno dan satirun.mereka ber 2 telah memonopoli semua aktifitas d dalam lembaga.termasuk income yg seharusnya d bagikan pada anggota,mereka korupsi.
    Suparno...yang dulu pernah d buang dari kepengurusan KUD gampeng karna korupsi,kini dengan bangganya menipu perhutani dngan mengkambing hitamkan LMDH argomulyo.
    Ketidakberdayaan dan minimnya SDM anggota menjadi kendala untuk mengungkap kebusukan 2 kucing garong ini.

    BalasHapus
  2. Masih banyak porang di daerah bpk

    BalasHapus
  3. Bisakah kami membeli katak untuk bibit??dan brpa harganya

    BalasHapus